Di Media Sosial, Seolah Tim Pemenangan Masing-Masing Capres 2019 Saling Menjatuhkan: Inikah yang Namanya Demokrasi?
Bahkan sejak sebelum masing-masing Capres 2019 ini belum mempublikasikan siapa yang akan menjadi Cawapres masing-masing kedua Capres, media sosial sudah dihebohkan dengan berbagai konten yang entah benar atau tidak.
Kebenaran sebuah berita benar-benar harus ditelusuri dengan baik oleh pengguna media sosial yang sudah barang tentu tidak akan banyak yang melakukannya. Selain karena tingkat pendidikan (pemahaman) masing-masing yang berbeda-beda, sepertinya mencari kebenaran tersebut terkesan membuang-buang waktu dimana kebanyakan kita sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri.
Belum lagi penetrasi informasi yang begitu cepat dan dalam jumlah yang banyak selama satu hari, terlalu banyak banyak waktu yang harus diluangkan hanya untuk mencari kebenaran berita yang kita konsumsi di media sosial yang kita gunakan.
Tidak usah heran jika penyebaran berita hoax pun semakin banyak dan intens. Apalagi jika media nasional sendiri baik cetak, elektronik maupun online juga turut mengambil bagian didalamnya. Maka tak usah bingung kenapa banyak yang akhirnya menganggap bahwa berita palsu berubah menjadi sebuah kebenaran.
Mari kita lanjutkan pada bagaimana "menariknya" kedua kubu yang terlibat secara langsung untuk memberikan berbagai bentuk dukungannya ke masing-masing jagoannya menggunakan media sosial.
Dalam hal ini, saya akan menggunakan Instagram sebagai contoh kecil dalam kasus ini karena merupakan media sosial yang paling sering saya gunakan setiap hari dibandingkan yang lainnya.
Yang menarik adalah feed menu pencariannya instagram bekerja dengan menganalisis perilaku kita dslam menggunkaannya. Jika sering mengkonsumsi berita politik dan bahkan mengikuti tokoh politik tertentu, maka konten yang akan paling sering muncul di akun saya pun tidak akan jauh berbeda dengan perilaku saya tersebut.
Tidak heran jika setiap hari saya harus bersinggungan langsung dengan berbagai berita politik dari masing-masing kubu yang "berseteru."
Saya menyebutnya demikian karena salah satu pihak selalu berusaha menyerang pihak lainnya dan tentu saja pihak kedua tersebut akan berusaha menampik segala pemberitaan yangberkaitan dengannya. Hal ini wajar karena sekali lagi, masing-masing kubu sudah memiliki jagoannya sendiri. Kalaupun ada yang akhirnya berpindah kubu, hal itu tetap harus dihargai karena masing-masing memiliki hak untuk menentukan pilihannya dan memang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Namun jeleknya, harus diakui bahwa perjalanan demokrasi kita tercederai dimana salah satu kubu beberapa kali telah berhasil memenjarakan pendukung kubu yang bertentangan.
Dan semua itu terekam hampir semuanya di media sosial yang bisa berubah menjadi arsip online siapapun.
Tiap hari kita mendengar nyanyian yang sama pada masing-masing pendukung paslon yang sebenanrnya kita sendiri tidak menyukainya. Dan entah kenapa, kita seolah tersihir untuk tetap mengkonsumsi berbagai konten "peperangan politik" tersebut.
Bahkan, saya yakin bahwa terdapat banyak diantara pegiat online lainnya yang awalnya cukup vokal dan tegas, harus rela mengendorkan perjuangannya karena kekhawatiran akan dipenjarakan? Ini yang juga gagal dalam demokrasi kita saat ini dimana kebebasan berekspresi menggunakan media sosial seolah terpenjara dan seolah reformasi tidak memberikan mereka salah satu pesan pentingnya bahwa kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh Undang-Undang.
Karena itu, menjadi wajar jika saya mempertanyakan bahwa beginikah yang namanya demokrasi? Jika memang iya, pantaslah sistem khilafah lebih tepat digaungkan karena demokrasi dengan model yang seperti ini hanya akan menguntungkan salah satu pihak dan merugikan yang lainnya.
Di media sosial, banyak yang saling menjatuhkan karena perbedaan politik. Seolah hanya ada satu kebenaran mutlak dan selainnya adalah sebuah kesalahan yang tidak kita perkukan. Imbasnya, kehangatan berwarga negara juga menjadi berkurang di tengah pesta demokrasi yang seharusnya kita sambut dengan perayaan yang meriah. Bukannya dengan pertentangan yang seolah tak ada ujungnya.
Karena itu, jangan menambah segala kerumitan yang ada dengan ketidaktahuan kita terhadap konten yang disebarkan di media sosial. Minimal berusahalah untuk menghindarinya dengan tidak berkomentar, memberikan like dan sebagainya yang bisa memviralkan konten tersebut. Terima kasih.
Kebenaran sebuah berita benar-benar harus ditelusuri dengan baik oleh pengguna media sosial yang sudah barang tentu tidak akan banyak yang melakukannya. Selain karena tingkat pendidikan (pemahaman) masing-masing yang berbeda-beda, sepertinya mencari kebenaran tersebut terkesan membuang-buang waktu dimana kebanyakan kita sudah memiliki kesibukan sendiri-sendiri.
Belum lagi penetrasi informasi yang begitu cepat dan dalam jumlah yang banyak selama satu hari, terlalu banyak banyak waktu yang harus diluangkan hanya untuk mencari kebenaran berita yang kita konsumsi di media sosial yang kita gunakan.
Tidak usah heran jika penyebaran berita hoax pun semakin banyak dan intens. Apalagi jika media nasional sendiri baik cetak, elektronik maupun online juga turut mengambil bagian didalamnya. Maka tak usah bingung kenapa banyak yang akhirnya menganggap bahwa berita palsu berubah menjadi sebuah kebenaran.
Mari kita lanjutkan pada bagaimana "menariknya" kedua kubu yang terlibat secara langsung untuk memberikan berbagai bentuk dukungannya ke masing-masing jagoannya menggunakan media sosial.
Dalam hal ini, saya akan menggunakan Instagram sebagai contoh kecil dalam kasus ini karena merupakan media sosial yang paling sering saya gunakan setiap hari dibandingkan yang lainnya.
Yang menarik adalah feed menu pencariannya instagram bekerja dengan menganalisis perilaku kita dslam menggunkaannya. Jika sering mengkonsumsi berita politik dan bahkan mengikuti tokoh politik tertentu, maka konten yang akan paling sering muncul di akun saya pun tidak akan jauh berbeda dengan perilaku saya tersebut.
Tidak heran jika setiap hari saya harus bersinggungan langsung dengan berbagai berita politik dari masing-masing kubu yang "berseteru."
Saya menyebutnya demikian karena salah satu pihak selalu berusaha menyerang pihak lainnya dan tentu saja pihak kedua tersebut akan berusaha menampik segala pemberitaan yangberkaitan dengannya. Hal ini wajar karena sekali lagi, masing-masing kubu sudah memiliki jagoannya sendiri. Kalaupun ada yang akhirnya berpindah kubu, hal itu tetap harus dihargai karena masing-masing memiliki hak untuk menentukan pilihannya dan memang tidak bisa diganggu gugat oleh siapapun.
Namun jeleknya, harus diakui bahwa perjalanan demokrasi kita tercederai dimana salah satu kubu beberapa kali telah berhasil memenjarakan pendukung kubu yang bertentangan.
Dan semua itu terekam hampir semuanya di media sosial yang bisa berubah menjadi arsip online siapapun.
Tiap hari kita mendengar nyanyian yang sama pada masing-masing pendukung paslon yang sebenanrnya kita sendiri tidak menyukainya. Dan entah kenapa, kita seolah tersihir untuk tetap mengkonsumsi berbagai konten "peperangan politik" tersebut.
Bahkan, saya yakin bahwa terdapat banyak diantara pegiat online lainnya yang awalnya cukup vokal dan tegas, harus rela mengendorkan perjuangannya karena kekhawatiran akan dipenjarakan? Ini yang juga gagal dalam demokrasi kita saat ini dimana kebebasan berekspresi menggunakan media sosial seolah terpenjara dan seolah reformasi tidak memberikan mereka salah satu pesan pentingnya bahwa kebebasan berpendapat sudah dijamin oleh Undang-Undang.
Karena itu, menjadi wajar jika saya mempertanyakan bahwa beginikah yang namanya demokrasi? Jika memang iya, pantaslah sistem khilafah lebih tepat digaungkan karena demokrasi dengan model yang seperti ini hanya akan menguntungkan salah satu pihak dan merugikan yang lainnya.
Di media sosial, banyak yang saling menjatuhkan karena perbedaan politik. Seolah hanya ada satu kebenaran mutlak dan selainnya adalah sebuah kesalahan yang tidak kita perkukan. Imbasnya, kehangatan berwarga negara juga menjadi berkurang di tengah pesta demokrasi yang seharusnya kita sambut dengan perayaan yang meriah. Bukannya dengan pertentangan yang seolah tak ada ujungnya.
Karena itu, jangan menambah segala kerumitan yang ada dengan ketidaktahuan kita terhadap konten yang disebarkan di media sosial. Minimal berusahalah untuk menghindarinya dengan tidak berkomentar, memberikan like dan sebagainya yang bisa memviralkan konten tersebut. Terima kasih.
Komentar
Posting Komentar